Sambungan The Tattoo 1
Dengan balutan handuk di pinggang, masih sempat aku menatap hasil work out selama 4 bulan belakangan di dedpan kaca. Senyum kepuasan terpampang disana. Hohohohoo…Kalau masih ingat 4 bulan kemarin, bukan hanya handphone yang muncul dimana-mana. Seperti kata pemirsa yang sering melihatku di TV, pager sudah penuh di sekeliling pinggangku. Seperti iklan sebuah minuman suplemen, aku rela kalau berjalan di keramaian tanpa menggunakan kaos ataupun kemeja. Memang otot perutku sudah berbentuk six pack. Tanpa sedot lemak atau istilah kerennya liposuction namun semuanya karena kerja keras dan diet yang ketat.
Dengan busana yang cukup casual karena hari ini aku hanya menemani Enrique ke tattoo studio. T shirt warna merah dari toko kesayanganku Selohill dan jeans gembrong berwarna biru. Rambutku yang sudah kelihatan panjang, kukernyitkan keningku. Hari ini rambutku dibikin gaya seperti apa. Kuambil hair cream dan kusapukan ke rambutku. Coba pake gaya rambut acak-acakan. Sedikit aroma parfum yang sportif dari lacoste melengkapi penampilanku hari ini. Oke, cukup untuk hari ini. Dari tattoo studio, gw bisa langsung ke studio untuk mempelajari script buata acara besok.
Dengan mobil honda city warna hitam, kami meninggalkan tempat kostku. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Berarti hampir satu setengah jam Enrique terlambat.
“Katanya mau jemput setengah jam lagi. Lha, ini udah jam 1” protesku memulai pembicaraan.
“ Kita makan di DC mall aja ya? Biar dekat dengan studio tattoonya” ujarnya tanpa menjawab pertanyaan gw.
“Eitss, tunggu dulu. Elo belum jawab pertanyaan gw”
“Gw ketiduran lagi…..”
“Hahahahahahahahhahahahhhah…………….” Kami berdua tertawa. Sehingga lagu dari radio seakan tertutupi oleh tawa kami berdua.
“Tio, gw mau bikinin tattoo di lengan gw” Enrigue memberikan lengan kirinya ke arahku.
“Hah? Yang serius lu?”
“Itu khan sakit, Riq?”
“Buat apaan bikin tattoo? Entar elo bakalan nyesel. Kalo udah nyesel apa bisa di hapus lagi seperti semula?”
“Gimana sih? Katanya selebritis tapi tidak gaul. Ini salah satu pembuktian diri, Tio”
“Yang bilang gw selebritis khan elo. Dan siapapun dia kalau kita tanya, siapa diantara kita yang selebritis, pasti pilihan akan jatuh ke tanganmu.”
“Wajah seperti keturunan latin, tinggi, bodi atletis, sukses sebagai eksekutif muda. Apa lagi?” Semuanya ada padamu Enrique”
“Cukup….cukup…….kita berdua memang selebritis.” Hahahahahhahahah”
Itulah Enrique Sanobo. Aslinya keturunan Irian dengan India. Ayahnya adalah pengusaha kaya dari Irian. Ibunya seorang wanita India. Kalau melihat fotonya semasa gadisnya, bukan berasal dari warga biasa. Karena cantiknya mirip dengan bintang film bollywood yang sering nampang di beberapa stasiun TV. Sepintas wajahnya mirip Rani Mukerjee. Berkenalan dan jatuh cinta dengan bokapnya saat ada bisnis di negara itu. Menikah dan menetap di Jakarta. Jadi tidak salah pepatah yang mengatakan. Buah tidak akan jauh tumbuh dari pohonnya.
Selepas SMA, mengikuti UMPTN dan keterima di Universitas Indonesia. Aku mengenal dia sesaat kami menjalani penataran P4. Satu kelompok diskusi dan ternyata dia lebih kritis dalam membahas Pancasila dan UUD. Dan karena kami juga adalah satu fakultas, kami semakin lebih akrab.
Setelah berkutat selama bertahuhn tahun dengan belajar dan praktikum, akhirnya aku yang lebih dahulu lulus dari Enrique. Walaupun gw tahu dia cukup pintar dan memang sesuai dengan jurusan yang dipelajarinya. Teknik Arsitektur. Insting seninya saat menggambar di atas kertas, apalagi saat dia konsentrasi mengamati suatu objek. Rencananya akhir tahun dia akan maju untuk sidang skripsi.
Setelah kami berpisah cukup lama sekitar 4 tahun. Kini kami kembali bertemu dalam reuni kampus yang dilakukan di kota Batam. Begitu banyaknya alumni yang hadir pada saat itu. Dari berbagai kalangan usaha. Dan sepertinya mereka rindu untuk saling mengingat cerita semasa masih kuliah. Dan pada saat itu aku berperan sebagai pembawa acara sehingga perhatian dari peserta reuni tertuju padaku.
Setelah acara perkenalan oleh pengurus alumni. Disusul dengan acara hiburan oleh artis ibukota yang juga alumni dari kampus kami.
Enrique yang sekarang masih sama dengan enrique yang empat tahun kemarin.
“Mestinya dulu bilang-bilang kalau kamu juga seorang pembawa acara” sapanya sambil menjabat tangan dan saling berangkulan.
“ Jaman kuliah dulu kan belum musim telepon genggam, musimnya Cuma rambutan, hahahahahahahah” kemudian disambut Enrique juga dengan tertawa.


1 Comments:
ini novel atau cerita pribadi ? haha... sorry, kalau tulisannya diperbesar sedikit bakal lebih enak dibaca :D
Post a Comment
<< Home